Menuntut Ilmu

Seandainya tanpa ilmu, maka manusia itu ibarat binatang

Lebih Dekat Dengan Qur'an

Tidaklah sekelompok orang berkumpul untuk mempelajari al-Quran, melainkan akan turun kepada mereka berkah dari Allah.

Jangan Lupa Qiyamul Lail

Dan orang-orang yang melalui malam hari dengan bersujud dan berdiri untuk Rabb mereka.

Sholat berjamaah

mari semangat sholat lima waktu di masjid.

Halaqoh Quran

Hidup Makmur, Mulia dan Bahagia bersama Al Quran.

Jumat, 29 November 2013

Keajaiban Al Qur'an Tentang Tidur

“Dan diantara tanda-tanda (kebesaran) Nya ialah tidurmu pada waktu malam dan siang hari dan usahamu mencari sebahagian dari karunia Nya. Sungguh, pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang mendengar, “[Qs. Ar-rum: 23]
Tidur singkat dapat menrefreshkan otak, ketika ia merasa lelah di siang hari akibat pengumpulan maklumat sehingga prestasi menjadi kurang berkesan dan seseorang itu sebenarnya memerlukan rehat sejenak yakni dengan tidur.
Rehat cara ini bagi otak merupakan penyusunan semula maklumat dan menyusun gelombang-gelombang sel dan memantapkan maklumat yang diperolehi di siang hari.
Oleh kerana itu, para pengkaji menegaskan pentingnya tidur malam hari atau tidur sebentar pada siang hari dan bahawa merehatkan otak ini akan memperkuatkan ingatan. Mereka mendapati bahawa orang yang biasa tidur sebentar di siang hari, prestasi mereka lebih baik dan kemampuan mengingat akan lebih cepat.
Pasukan penyelidik dari Universiti Lubeck Jerman melakukan ujian diagnostik terhadap 52 sukarelawan. Para sukarelawan diminta untuk tidur dalam tempoh masa tertentu tanpa membezakan waktu siang atau malam. Dan hasilnya, keadaan mereka sama dan tidak berbeza.
Dan hasilnya ternyata tidur singkat di ‘siang hari’ sama pentingnya dengan tidur di malam hari. Para penyelidik mengatakan tidur siang hari sebentar yang disebut dalam Islam dengan istilah Qailullah itu sangat berguna sama seperti tidur di malam hari. Mereka menjelaskan bahawa dari perspektif pembaikan sikap dan perilaku, tidur siang adalah sama seperti tidur malam berkaitan dengan fungsi kognitif seseorang.
Diingatkan kembali terhadap apa yang disampaikan Al Quranul Karim untuk tidur di malam dan siang hari. Bahkan tidur sebentar di siang hari juga penting sebagaimana tidur malam.
Ini adalah tanda keajaiban Al-Qur’an sebagai kitab yang diturunkan dari Allah Yang Maha Mengetahui. Maklumat ini baru bagi para Ilmuwan, bahkan mereka tidak tahu pentingnya tidur siang kecuali di abad ke 21. Sedangkan Al Quran telah menegaskan pentingnya tidur malam dan siang, sebagai suatu keajaiban dan tanda kekuasaan Allah sejak empat belas abad lalu!
Memori Otak Ketika Seseorang Baru Saja Bangun Tidur
Para saintis Universiti Harvard melakukan kajian berkaitan hubungan antara memori ingatan dan tidur. Mereka menggunakan alat scan resonansi MRI berfungsi magnet sehingga mereka mengesan adanya aktiviti otak di kawasan yang tertentu. Kemudian aktiviti bergerak ke wilayah kedua dan begitulah seterusnya bahawa otak melakukan penyusunan maklumat, menyelaras, dan menyimpan maklumat sehingga mudah diambil kembali selepas seseorang bangun dari tidur.
Namun kajian selanjutnya menunjukkan bahawa fokus otak seseorang ada pada tahap minimum ketika ia baru saja bangun tidur. Diperlukan waktu antara 15-30 minit untuk dapat mengembalikan kemampuan fikiran. Oleh kerana itu, penyelidik menyarankan agar seseorang setelah bangun tidur melakukan beberapa latihan ringan untuk memulihkan aktiviti otak.
Di sini, kita juga boleh memahami mengapa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam banyak mengingatkan Allah selepas bangun dari tidur. Beliau kemudian berwuduk, berdoa dan solat. Jadi beliau menggunakan bahagian waktunya setelah tidur untuk berdoa dan berzikir sebelum melakukan aktiviti lain atau menentukan keputusan. Jika kita kaji pandangan para pengkaji sekarang ini, mereka menegaskan bahawa memori manusia berada pada kedudukan terendah selepas baru sahaja bangun dari tidur.
Para penyelidik memberi amaran kepada doktor yang berjaga malam juga pekerja dimalam hari yang memerlukan keputusan penting selepas bangun tidur. Disyorkan mereka untuk tidak mengambil keputusan atau tidak mengambil apa-apa tindakan hingga selepas satu perempat jam selepas bangun tidur.
Inilah Sebabnya Allah swt berfirman:
“Allah memegang jiwa (seseorang) pada saat kematiannya dan jiwa (seseorang) yang belum mati ketika dia tidur, maka Dia tahan jiwa (orang) yang telah Dia tetapkan kematiannya dan Dia lepaskan jiwa yang lain sampai waktu yang ditentukan. Sungguh, pada yang demikian itu terdapat tanda-tanda kebesaran Allah bagi kaum yang berfikir. “(Qs. Az-Zumar: 42).
Ayat ini menjelaskan tentang pentingnya tidur dan kaitan antara tidur dengan mati. Kerana itu kita perlu dengan berzikir kepada Allah swt sebelum tidur dan selepas bangun dari tidur. Bercermin pada apa yang dilakukan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam.
Apa Pelajaran yang kita perolehi dari kajian ini?
1. Jangan terlalu banyak tidu, dan bangunlah disaat solat Subuh. Gantilah sebahagian kekurangan tidur kita diwaktu malam dengan tidur sejenak diwaktu siang.
2. Manfaatkan waktu tidur kita dengan mendengar bacaan Al-Quran. Otak akan berfungsi menyimpan ayat-ayat yang dibacakan itu apabila kita tidur. Ini adalah salah satu cara untuk membantu kita menghafal Kitabullah.
3. Hal pertama yang harus dilakukan setelah bangun tidur adalah berdo’a sebagaimana diajarkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam,
“Segala puji bagi Allah yang telah menghidupkan kami setelah mematikan kami, dan kepada-Nyalah kami dikumpulkan”.
Lalu berwudhulah, solat dan bacalah Al Qur’anul karim selama kira-kira 15 minit sekurang-kurangnya. Aktiviti-aktiviti seperti ini akan menambah keupayaan kita untuk membuat keputusan penting dalam hidup.

Kamis, 28 November 2013

Nikmatnya Menuntut Ilmu


Diantara sekian banyak nikmat Allah yang telah kita rasakan, ada satu nikmat yang melandasi datangnya nikmat-nikmat yang lain, yaitu ilmu. Sebab dengan ilmu, seseorang akan dapat memahami berbagai hal dan karena ilmu juga, seseorang akan mendapatkan kedudukan yang lebih tinggi di sisi Allah, juga di kalangan manusia. Terutama jika disertai dengan keimanan dan ketakwaan kepada Allah ‘Azza wa Jalla. Baik dia seorang budak atau orang merdeka; seorang bawahan atau atasan; seorang rakyat jelata ataupun para raja. Sebagaimana disebutkan dalam firman-Nya,
يَـأَيُّهَاالَّذِيْنَ ءَامَنُوا إِذَاقِيْـلَ لَكُمْ تَفَـسَّحُوْافِيْ الْمَجَلِسِ فَافْـسَحُوا يَفْـسَحِ اللهُ لَكُمْۖ وَإِذَا قِيْـلَ انْشُزُوا فَانْشُزُوا يَرْفَعِ اللهُ الَّذِيْنَ ءَامَنُوا مِنْكُمْ وَالَّذِيْنَ أُوتُوا الْعِلْمَ دَرَجَتٍۗ وَاللهُ بِمَا تَعْمَلُونَ خَبْيْرٌ ۝
Artinya: “Wahai orang-orang yang beriman, apabila dikatakan kepada kalian, ‘Berlapang-lapanglah dalam majelis,’ maka lapangkanlah, niscaya Allah akan memberi kelapangan untuk kalian. Dan apabila dikatakan, ‘Berdirilah kamu,’ maka berdirilah, niscaya Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman diantara kalian dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat. Dan Allah Maha Mengetahui atas apa yang kalian kerjakan.” (Qs. Al-Mujadilah: 11)
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam juga pernah bersabda,
إِنَّ اللهَ يَرْفَعُ بِهَـذَا الْكِـتَابِ أَقْوَامًا وَيَضَعُ بِهِ آخَرِيْنَ .
Artinya: “Sesungguhnya Allah mengangkat dengan Al-Qur’an beberapa kaum dan Allah pun merendahkan beberapa kaum dengannya.” [Hadits shahih, diriwayatkan oleh Muslim (no. 817) dari ‘Umar bin Al-Khaththab radhiyallahu’anhu]
Dalil di atas dengan menegaskan bahwa orang yang berilmu dan mengamalkannya maka kedudukannya akan diangkat oleh Allah di dunia dan akan dinaikkan derajatnya di akhirat.
Allah ‘Azza wa Jalla menolak persamaan antara orang-orang yang memiliki ilmu dengan orang-orang yang tidak memiliki ilmu. Sebagaimana Dia menolak persamaan antara para penghuni Surga dengan para penghuni Neraka. Allah berfirman,
قُـلْ هَـلْ يَسْتَوِى الَّذِيْنَ يَعْلَمُونَ وَالَّذِيْنَ لاَ يَعْلَمُونَۗ … ۝
Artinya: “Katakanlah: Apakah sama orang-orang yang mengetahui dengan orang-orang yang tidak mengetahui?” (Qs. Az-Zumar: 9)
Ayat di atas berbentuk kalimat tanya, akan tetapi pada hakikatnya mengandung arti pengingkaran. Karena orang yang berilmu dan orang yang tidak berilmu tidak akan pernah setara kedudukannya. Yang dapat memahami maksud tersebut hanyalah orang yang cerdas, sehingga dia dapat mengetahui nilai ilmu, kedudukan dan keutamannya. [Lihat Bahjatun Nazhirin (II/462) dan Syarah Riyadhush Shalihin Terjemah (IV/284)]
Sementara itu, dalam firman-Nya yang lain, Allah Ta’ala menyatakan,
لاَيَسْتَوِى أَصْحَبُ النَّارِ وَأَصْحَبُ الْجَنَّةِۗ … ۝
Artinya: “Tidak sama (antara) para penghuni Neraka dengan para penghuni Surga…” (Qs. Al-Hasyr: 20)
Ini menunjukkan tentang puncak dari keutamaan dan kemuliaan orang yang berilmu. Bahkan, karena kemuliaan ilmu, Allah membolehkan kita untuk memakan hasil buruan anjing yang terlatih (untuk berburu) dan mengharamkan memakan buruan anjing yang tidak terlatih. Sebagaimana disebutkan dalam firman Allah Ta’ala,
يَسْـئَلُوْنَكَ مَاذَآ أُحِـلَّ لَهُمْۗ قُلْ أَحِـلَّ لَكُمُ الطَّيِّبَتُ وَمَاعَلَّمْتُمْ مِنَ الْجَوَارِحِ مُكَلِّبِيْنَ تُعَـلِّمُوْنَهُنَّ مِمَّا عَلَّمَكُمُ اللهُ فَـكُلُوْا مِمَّآ أَمْسَكْنَ عَلَيْكُمْ وَاذْكُرُوااسْمَ اللهِ عَلَيْهِۖ وَاتَّقُوااللهَۗ إِنَّ اللهَ سَرِيْعُ الْحِسَابِ ۝
Artinya: “Mereka menanyakan kepadamu: ‘Apakah yang dihalalkan bagi mereka?’ Katakanlah: ‘Dihalalkan bagimu yang baik-baik dan (buruan yang ditangkap) oleh binatang buas yang telah kamu ajar dengan melatih nya untuk berburu; kamu mengajarnya menurut apa yang telah diajarkan Allah kepadamu. Maka makanlah dari apa yang ditangkapnya untukmu, dan sebutlah nama Allah atas binatang buas itu (waktu melepaskannya). dan bertakwalah kepada Allah, Sesungguhnya Allah amat cepat hisab-Nya.’”(Qs. Al-Ma’idah: 4)
Ayat di atas menunjukkan bahwa binatang menjadi mulia karena ilmu dan diberi kedudukan yang berbeda dengan binatang yang tidak berilmu. Seandainya bukan karena keutamaan ilmu, niscaya hasil buruan anjing yang terlatih dan tidak terlatih statusnya sama, yakni haram hukumnya untuk dikonsumsi. Akan tetapi, hewan yang ditangkap anjing pemburu statusnya halal, tidak sebagaimana hasil buruan anjing liar.
Jika kedudukan binatang saja bisa mengalami kenaikan karena ilmu, bagaimana halnya dengan kedudukan seorang manusia yang jelas-jelas kedudukannya lebih tinggi dan lebih mulia dari pada binatang?
Pada kesempatan kali ini, dengan memohon taufik kepada Allah Jalla Dzikruhu,penulis akan menghadirkan pembahasan mengenai nikmat dan keutamaan para pemilik ilmu beserta dengan hukum dan macam-macam ilmu dalam tinjauan syari’at.
DEFINISI ILMU DAN TINGKATANNYA
Ilmu adalah mengetahui sesuatu dengan yakin sesuai dengan pengetahuan yang sebenarnya. [Lihat Syarah Tsalatsatil Ushul (hal. 18), Syarh Ushul min ‘Ilmil Ushul (hal. 75),Ushul Fiqh Terjemah (hal. 24), dan Menuntut Ilmu Jalan Menuju Surga (hal. 16)]
Ilmu pada hakikatnya terbagi menjadi dua, yaitu:
1. Ilmu dharuri, adalah pengetahuan tentang suatu hal tanpa memerlukan penelitian dan pembuktian dengan menggunakan dalil (keterangan). Contohnya: pengetahuan bahwa api itu panas.
2. Ilmu nazhari, adalah pengetahuan tentang suatu hal yang didahului oleh penelitian dan pembuktian dengan menggunakan dalil. Contohnya: pengetahuan tentang tata cara wudhu dan shalat.
Adapun tingkatan ilmu yang dimiliki oleh seseorang terbagi dalam enam tingkatan, yaitu:
1. Al-‘Ilmu, maksudnya adalah mengetahui sesuatu dengan yakin sesuai dengan kenyataan yang sebenarnya.
2. Al-Jahlul Basith, maksudnya adalah tidak memiliki pengetahuan tentang sesuatu hal tertentu, sama sekali.
3. Al-Jahlul Murakkab, maksudnya tidak memiliki pengetahuan tentang sesuatu hal tertentu, namun dia mengaku memiliki pengetahuan tentang itu, padahal keliru dan tidak sesuai dengan realita. Disebut murakkab yang artinya bertingkat, karena terdapat dua kebodohan sekaligus pada orang tersebut, yaitu bodoh karena dia tidak mengetahui yang sebenarnya dan bodoh karena dia beranggapan bahwa dia mengetahui yang sebenarnya, padahal dia tidak mengetahui.
4. Azh-Zhann, maksudnya adalah mengetahui sesuatu yang kemungkinan benarnya lebih besar dari pada salahnya. Kata yang mirip dalam bahasa kita adalah dugaan kuat.
5. Al-Wahm, maksudnya adalah mengetahui sesuatu yang kemungkinan salahnya lebih besar dari pada benarnya. Atau mirip dengan dugaan lemah atau salah paham.
6. Asy-Syakk, maksudnya adalah mengetahui sesuatu yang kemungkinan benar dan salahnya seimbang.
[Lihat Syarah Tsalatsatil Ushul (hal. 18-19), Syarh Ushul min ‘Ilmil Ushul (hal. 71-72), Ushul Fiqh Terjemah (hal. 25), dan Menuntut Ilmu Jalan Menuju Surga (hal. 16-17)]
KEWAJIBAN MENUNTUT ILMU
Ilmu adalah sayyidul ‘amal (penghulunya amal), sehingga tidak ada satu amalan pun yang dilakukan tanpa didasari dengan ilmu. Sebagaimana disebutkan dalam sebuah kaidah yang telah disepakati ummat,
اَلْعِلْمُ قَبْلَ الْقَوْلِ وَالْعَمَلِ .
Ilmu dahulu sebelum berkata dan berbuat.”
[Lihat Shahih Al-BukhariKitab Al-IlmuBab Al-‘Ilmu Qablal Qaul wal ‘Amal (I/119)]
Ilmu juga merupakan makanan pokok bagi jiwa, yang karenanya jiwa akan menjadi hidup dan jasad akan memiliki adab. Oleh karena itu, Islam mewajibkan ummatnya, baik laki-laki maupun perempuan, untuk menuntut ilmu. Dan hal ini telah ditegaskan oleh Rasulullahshallallahu ‘alaihi wa sallam dalam sabdanya,
طَلَبُ الْعِلْمِ فَرِيْضَةٌ عَلَى كُلِّ مُسْلِمٍ .
Menuntut ilmu wajib bagi setiap Muslim.”
[Hadits shahih li ghairihi, diriwayatkan Ibnu Majah (no. 224), dari jalur Anas bin Malikradhiyallahu’anhu. Hadits ini diriwayatkan pula oleh sekelompok para shahabat, seperti Ali bin Abi Thalib, ‘Abdullah bin ‘Abbas, ‘Abdullah bin ‘Umar, ‘Abdullah bin Mas’ud, Abu Sa’id Al-Khudriy, Al-Husain bin ‘Ali, dan Jabir radhiyallahu’anhum. Para ulama ahli hadits telah menerangkan jalur-jalur hadits ini dalam kitab-kitab mereka, seperti: Imam As-Suyuthi dalam kitab Juz Thuruqi Hadits Tholabil Ilmi Faridhotun ’Ala Kulli Muslimin, Imam Ibnul Jauzi dalam kitab Al-Wahiyat (I/67-71), Imam Ibnu ‘Abdil Barr dalam kitab Jami’ Bayanil ‘Ilmi wa Fadhlihi (I/69-97), dan Syaikh Al-Albani dalam kitab Takhrij Musykilah Al-Faqr (hal. 48-62)]
Tidak diragukan lagi bahwa kebutuhan seseorang terhadap ilmu lebih besar dari kebutuhannya terhadap makan dan minum, seperti pernah dikatakan oleh Imam Ahmad bin Hanbal rahimahullah,
الناس إلي العلم أحوج منهم إلى الطعام والشراب لأنهم يحتاجون إليها في اليوم مرة أو مرتين وحاجتهم إلي العلم بعدد اأنفاسهم
Manusia sangat membutuhkan ilmu dari pada (mereka) membutuhkan makanan dan minuman, karena makanan dan minuman hanya dibutuhkan sehari sekali atau dua kali, sementara ilmu dibutuhkan sepanjang nafasnya.” [Lihat Thabaqat Al-Hanabilah (I/146),Al-‘Ilmu Fadhluhu wa Syarafuhu (hal. 91), dan Menuntut Ilmu Jalan Menuju Surga (hal. 55-56)]
Selain itu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pun mendakwahkan Islam kepada para Shahabat atas dasar ilmu. Sebagaimana Allah ‘Azza wa Jalla telah berfirman,
قُلْ هَـذِهِ سَبِيْلِى أَدْعُواإِلَى اللهِۚ عَلَى بَصِيْرَةٍ أَنَا وَمَنِ اتَّبَعَنِىۖ … ۝
Artinya: “Katakanlah (Muhammad), ‘Inilah jalanku yang lurus, aku dan orang-orang yang mengikutiku mengajak (kamu) kepada Allah dengan ilmu.’” (Qs. Yusuf: 108)
Imam Ibnu Katsir rahimahullah menjelaskan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallammenyeru manusia kepada agama Allah atas dasar ilmu (بصيرة ), keyakinan (يقين ), dalil syar’i (برهان شرعي ), dan dalil aqli (عقلي ). [Lihat Tafsir Ibnu Katsir (IV/422)]
ILMU YANG WAJIB DICARI
Tidak setiap ilmu boleh untuk dicari dan dipelajari, sebab ada ilmu yang dilarang untuk dipelajari. Hanya ilmu yang bermanfaat sajalah yang boleh untuk dicari dan dipelajari. Karena ilmu yang bermanfaat menempati kedudukan yang terpuji, seperti kisah Nabi Adam‘alaihis salam yang diajarkan oleh Allah Ta’ala tentang nama-nama segala sesuatu, kemudian Nabi Adam memberitahukannya kepada para Malaikat dan para Malaikat pun berkata,
قَالُوا سُبْحَـنَكَ لاَ عِلْمَ لَنَآ إِلاَّ مَاعَلَّمْتَنَآۖ إِنَكَ أَنْتَ الْعَلِيْمُ الْحَكِيْمُ ۝
Artinya: “Mereka menjawab, ‘Mahasuci Engkau, tidak ada yang kami ketahui selain apa yang telah Engkau ajarkan kepada kami, sesungguhnya Engkau-lah Yang Maha Mengetahui lagi Mahabijaksana.’” (Qs. Al-Baqarah: 32)
Demikian juga disebutkan dalam kisah Nabi Musa ‘alaihis salam dengan Nabi Khidhir ‘alaihis salam, sebagaimana termaktub dalam firman Allah Ta’ala berikut,
فَوَجَدَا عَبْـدًا مِّنْ عِبَـادِنَـآاَتَيْنَـهُ رَحْمَةً مِّنْ عِنْـدِنَـا وَعَلَّمْنَـهُ مِنْ لَّـدُنَّا عِلْمًا ۝ قَالَ لَهُ مُوسَى هَـلْ أَتَّبِعُـكَ عَلَى أَنْ تُعَلِّمَنِ مِمَّا عُلِّمْتَ رُشْـدًا ۝
Artinya: “Lalu mereka berdua bertemu dengan seorang hamba diantara hamba-hamba Kami, yang telah Kami berikan rahmat kepadanya dari sisi Kami, dan yang telah Kami ajarkan ilmu kepadanya dari sisi Kami. Musa berkata kepadanya. ‘Bolehkah aku mengikutimu agar engkau mengajarkan kepadaku ilmu yang benar diantara ilmu-ilmu yang telah diajarkan kepadamu sebagai petunjuk?’” (Qs. Al-Kahfi: 65-66)
Semua ayat di atas berbicara tentang ilmu yang bermanfaat.
Hanya saja, tidak semua orang bisa mendapatkan manfaat dari ilmu yang bermanfaat ini. Allah ‘Azza wa Jalla menyebutkan tentang keadaan suatu kaum yang diberikan ilmu, tetapi ilmu yang ada pada mereka tidak memberi manfaat sama sekali bagi mereka. Padahal, ilmu yang mereka miliki adalah ilmu yang bermanfaat, namun demikian mereka tidak dapat mengambil manfaat dari ilmu tersebut. Sebagaimana disebutkan dalam firman Allah Jalla Dzikruhu,
مَثَـلُ الَّذِيْنَ حُـمِّلُوا التَّوْرَىةَ ثُـمَّ لَـمْ يَحْـمِلُوهَاكَمَـثَـلِ الْحِـمَارِ يَحْمِـلُ أَسْفَـارَاۚ بِئْـسَ مَثَـلُ الْقَـوْمِ الَّذِيْنَ كَـذَّ بُوْا بِـئَا يَتِ اللهِۚ وَاللهُ لاَ يَهْـدِى الْقَـوْمَ الظَّـلِمِيْنَ ۝
Artinya: “Perumpamaan orang-orang yang diberi tugas membawa Taurat, kemudian mereka tidak membawanya (tidak mengamalkannya) adalah seperti keledai yang membawa kitab-kitab yang tebal. Sangatlah buruk perumpamaan kaum yang mendustakan ayat-ayat Allah itu. Dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang zhalim.” (Qs. Al-Jumu’ah: 5)
Sedangkan ilmu yang tidak bermanfaat adalah ilmu yang menjadi penyakit dalam agama dan memiliki kecenderungan untuk menjerumuskan manusia ke dalam kesesatan, seperti ilmu kalam (logika), ilmu filsafat, dan semisalnya. Selain itu, ada juga ilmu yang tercela, seperti ilmu sihir dan perdukunan. Ilmu tersebut merupakan ilmu yang tidak bermanfaat bagi kehidupan manusia di dunia apalagi di akhirat. Allah Tabaraka wa Ta’ala berfirman,
وَيَتَعَـلَّمُونَ مَـا يَضُـرُّهُمْ وَلاَ يَنْفَعُهُمْۚ وَلَقَـدْ عَلِمُوا لَمَنِ اشْتَرَىهُ مَالَهُ فَى الْأَخِـرَةِ مِنْ خَلَقِۚ وَلَبِئْسَ مَاشَـرَوْا بِهِ أَنْفُـسَـهُمْۚ لَوْكَـانُوْا يَعْـلَمُونَ ۝
وَيَتَعَلَّمُونَ مَا يَضُرُّهُمْ وَلا يَنْفَعُهُمْ وَلَقَدْ عَلِمُوا لَمَنِ اشْتَرَاهُ مَا لَهُ فِي الآخِرَةِ مِنْ خَلاقٍ وَلَبِئْسَ مَا شَرَوْا بِهِ أَنْفُسَهُمْ لَوْ كَانُوا يَعْلَمُونَ (١٠٢)
Artinya: “Dan mereka mempelajari sesuatu yang mencelakakan dan tidak memberi manfaat. Dan sesungguhnya mereka telah meyakini bahwa barang siapa yang menukarnya (Kitabullah) dengan sihir itu, niscaya tidak mendapat keuntungan di akhirat. Sungguh sangat buruk perbuatan mereka yang menjual dirinya dengan sihir, sekiranya mereka mengetahui.”(Qs. Al-Baqarah: 102)
Yahya bin ‘Ammar rahimahullah pernah berkata, “Ilmu itu ada lima (jenis), yaitu: (1) ilmu yang menjadi ruh (kehidupan) bagi agama, yaitu ilmu tauhid; (2) ilmu yang merupakan santapan agama, yaitu ilmu yang mempelajari tentang makna-makna Al-Qur’an dan hadits; (3) ilmu yang menjadi obat (penyembuh) bagi agama, yaitu ilmu fatwa. Ketika seseorang tertimpa sebuah musibah maka ia membutuhkan orang yang mampu menyembuhkannya dari musibah tersebut, sebagaimana pernah dikatakan oleh Ibnu Mas’ud radhiyallahu’anhu. (4) ilmu yang menjadi penyakit dalam agama, yaitu ilmu kalam dan bid’ah, dan (5) ilmu yang merupakan kebinasaan bagi agama, yaitu ilmu sihir dan yang semisalnya.” [Lihat Majmu’ Fatawa (X/145-146)Siyar A’lamin Nubala’ (XVII/482), dan Menuntut Ilmu Jalan Menuju Surga(hal. 28-29)]
Demikianlah perbedaan antara ilmu yang bermanfaat dan ilmu yang tidak bermanfaat.
Adapun pengertian dari ilmu yang bermanfaat adalah ilmu yang diturunkan oleh AllahSubhanahu wa Ta’ala kepada Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam berupa keterangan dan petunjuk, dimana mempelajari ilmu ini berhak mendapatkan pujian dan sanjungan. [LihatKitabul ‘Ilmi (hal. 13), Menuntut Ilmu Jalan Menuju Surga (hal. 15), Bahjatun Nazhirin (II/461), dan Syarah Riyadhush Shalihin Terjemah (IV/281)]
Imam Al-Auza’i rahimahullah berkata, “Ilmu (yang bermanfaat) adalah apa yang berasal dari para Shahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dan apa saja yang datang bukan dari salah seorang dikalangan mereka maka itu bukanlah ilmu (yang bermanfaat).” [Lihat Jami’ Bayanil ‘Ilmi (I/500, no. 1067 dan I/617, no. 1421), Fadhlu ‘Ilmi Salaf (hal. 42), Bahjatun Nazhirin(II/461), Syarah Riyadhush Shalihin Terjemah (IV/283), dan Menuntut Ilmu Jalan Menuju Surga (hal. 16 dan 22)]
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah pun pernah berkata, “Ilmu adalah apa yang dibangun di atas dalil, dan ilmu yang bermanfaat adalah ilmu yang dibawa oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Terkadang ada ilmu yang tidak berasal dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, namun dalam urusan duniawi, seperti ilmu kedokteran, ilmu hitung (matematika), ilmu pertanian, dan ilmu perdagangan.” [Lihat Majmu’ Al-Fatawa(VI/388 dan XIII/136), Madarijus Salikin (II/488), dan Menuntut Ilmu Jalan Menuju Surga (hal. 20-21)]
Al-Hafizh Ibnu Qayyim Al-Jauziyyah rahimahullah pernah berkata, “Ilmu adalah firman Allah, sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan perkataan para Shahabat.” [Lihat I’lamul Muwaqqi’in (II/149) dan Menuntut Ilmu Jalan Menuju Surga (hal. 22)]
Adapun ilmu yang bersifat keduniawian, seperti ilmu kedokteran, ilmu pertanian, ilmu ekonomi, dan yang lainnya, ada yang sangat dibutuhkan ummat Muslim. Namun, ilmu-ilmu tersebut tidak termasuk dalam kategori ilmu syar’i, sebagaimana disebutkan dalam dalil yang tercantum dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah. Karena itu, hukum menuntut ilmu duniawi tergantung kepada tujuan dan kebutuhannya, apabila tujuannya adalah untuk ketaatan kepada Allah maka hal itu akan menjadi baik dan apabila dengan mempelajarinya dapat memenuhi kebutuhan kaum muslimin maka hal itu dapat menjadi wajib. [Lihat Kitabul ‘Ilmi(hal. 13-14)]
Dengan demikian, kita dapat membagi hukum menuntut ilmu menjadi tiga, yaitu:
1. Fardhu ‘ain, dimana hukumnya adalah wajib untuk diketahui oleh setiap individu. Ilmu yang tercakup dalam hukum ini adalah semua ilmu syar’i yang yang menjadi pengetahuan dasar tentang agama, baik permasalahan ushul (asas) seperti akidah, tauhid dan manhaj, sampai permasalahan furu’ (cabang) seperti shalat, zakat, sedekah, haji, dan semisalnya.
2. Fardhu kifayah, dimana hukumnya tidak wajib atas setiap individu, sebab tidak mungkin semua orang dapat mempelajarinya. Kalaupun diwajibkan atas setiap individu, tidak semua orang dapat melakukannya, bahkan mungkin saja dapat menghambat jalan hidup mereka. Oleh karena itu, hanya sebagian orang saja yang diberi kemudahan oleh Allah untuk mempelajarinya dengan rahmat dan hikmah-Nya.
Apabila sebagian orang telah mengetahui dan mempelajarinya maka gugurlah kewajiban lainnya. Namun, jika tidak ada seorang pun diantara mereka yang mengetahui dan mempelajarinya, padahal mereka amat membutuhkan ilmu tersebut maka mereka semua berdosa karenanya.
Contohnya adalah ilmu hadits, ilmu tafsir, ilmu waris, ilmu kedokteran, ilmu pertanian, ilmu fiqih, ilmu pemerintahan, dan lain sebagainya. [Lihat Tafsir Al-Qurthubi (VIII/187), Thariq ilal ‘Ilmi As-Subulun Naji’ah li Thalabil ‘Ulumin Nafi’ah (hal. 18-19), dan Menuntut Ilmu Jalan Menuju Surga (hal. 6-7 dan 17)]
3. Haram, dimana hukumnya terlarang untuk dicari dan dipelajari, karena akan membawa pelakunya kepada kesesatan, kemaksiatan, bahkan kesyirikan kepada Allah Jalla wa ‘Ala. Diantara ilmu yang termasuk dalam hukum ini adalah ilmu sihir. Sebagaimana disebutkan dalam firman Allah ‘Azza wa Jalla,
وَ يَتَعَـلَّمُونَ مَـا يَضُـرُّهُمْ وَلاَ يَنْفَعُهُمْۚ وَلَقَـدْ عَلِمُوا لَمَنِ اشْتَرَىهُ مَالَهُ فَى الْأَخِـرَةِ مِنْ خَلَقِۚ وَلَبِئْسَ مَاشَـرَوْا بِهِ أَنْفُـسَـهُمْۚ لَوْكَـانُوْا يَعْـلَمُونَ ۝
Artinya: “Dan mereka mempelajari sesuatu yang mencelakakan dan tidak memberi manfaat. Dan sesungguhnya mereka telah meyakini bahwa barang siapa yang menukarnya (Kitabullah) dengan sihir itu, niscaya tidak mendapat keuntungan di akhirat. Sungguh sangat buruk perbuatan mereka yang menjual dirinya dengan sihir, sekiranya mereka mengetahui.”(Qs. Al-Baqarah: 102)
Dan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pun telah bersabda,
إِجْتَنِـبُوا السَّبْعَ الْمُوبِقَـاتِ، قَالُوا: يَـا رَسُولَ اللهِ وَمَـاهُنَّ؟ قَـالَ: الشَّرْكُ بِاللهِ، وَالسِّحْرُ، وَقَـتْلُ النَّفْسِ الَّتِي حَرَّمَ اللهَ إِلاَّ بِالْحَقِّ، وَأَكْلُ الرِّبَـا، وَأَكْلُ مَـالِ الْيَتِيْـمِ، وَالتَّوَ لَّيْ يَوْمَ الزَّحْفِ، وَقَـذْفُ الْمُحْصَنَـاتِ الْمُؤْمِنَاتِ الْغَافِلاَتِ .
Artinya: “Hindarilah (oleh kalian) tujuh perkara yang membinasakan.’ Mereka bertanya, ‘Apakah itu wahai Rasulullah?’ Beliau bersabda, ‘Menyekutukan Allah, sihir, membunuh jiwa yang diharamkan oleh Allah kecuali dengan cara yang benar, memakan harta riba, memakan harta anak yatim, lari dari medan perang, dan melempar tuduhan zina kepada wanita mukminah yang terjaga kesucian dan kehormatannya dari perbuatan dosa dan mereka tidak mengetahui tentang hal itu.’” [Hadits shahih, diriwayatkan oleh Bukhari (no. 2615), Muslim (no. 258), Abu Dawud (no. 2874), dan An-Nasa’i (no. 3673), dari Abu Hurairahradhiyallahu’anhu]
Hadits di atas menyebutkan tentang perintah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk menjauhi sihir dan menjelaskan bahwa sihir termasuk dalam perbuatan dosa besar yang membinasakan. Ini menunjukkan bahwa sihir dapat membinasakan pelakunya di dunia maupun di akhirat. [Lihat Hukmus Sihri wal Kahanah (hal. 5)]
Tidak ada perbedaan bagi laki-laki maupun perempuan, mulai dari orang tua ataupun anak-anak; pejabat atau karyawan; si kaya atau si miskin, semuanya sama dalam kewajiban menuntut ilmu syar’i yang bersumber dari Al-Qur’an dan As-Sunnah. Karena dengan ilmu tersebut, dia akan dapat mengetahui dan mengamalkan berbagai amalan shalih dengan baik, yang amalan-amalan tersebut akan dapat mengantarkannya ke Surga.
Dengan demikian, kita telah mengetahui bahwa ilmu yang wajib untu dicari dan dipelajari oleh setiap Muslim adalah ilmu syar’i, yaitu ilmu yang membahas tentang perkara-perkara agama, mulai dari perkara yang berkaitan dengan hubungan seorang hamba dengan Rabbnya sampai perkara yang berkaitan dengan hubungan seorang hamba dengan makhluk Rabbnya. Sementara untuk ilmu keduniaan, meskipun termasuk ke dalam ilmu yang bermanfaat, namun hukum mempelajarinya tidak sampai kepada wajib dan keutamaannya juga tidak setara dengan keutamaan menuntut ilmu syar’i.
***
muslimah.or.id
Penyusun: Ummu Sufyan Rahmawaty Woly bintu Muhammad
Muraja’ah: Ustadz Ammi Nur Baits
Maraji’:
1. Al-‘Ilmu Fadhluhu wa Syarafuhu, Ibnu Qayyim Al-Jauziyyah, tahqiq dan takhrij: Syaikh ‘Ali bin Hasan bin ‘Ali bin ‘Abdul Hamid Al-Halabi Al-Atsari, cetakan Majmu’atut Tuhaf An-Nafa’is Ad-Dauliyyah.
2. Bahjatun Nazhirin Syarah Riyadhish Shalihin Jilid 1, Syaikh Salim bin ‘Ied Al-Hilali, cetakan Daar Ibnul Jauzy, Riyadh.
3. Fadhlu ‘Ilmi Salaf ‘alal Khalaf, Imam Al-Hafizh Zainuddin Ibnu Rajab Al-Hanbali, cetakan Darul ‘Ammar, Yordania.
4. Hukmus Sihri wal Kahanah wa Ma Yata’allaq Biha, Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin Baz, cetakan Darul Qasim, Riyadh.
5. I’lamul Muwaqqi’in Jilid II, Ibnu Qayyim Al-Jauziyyah, cetakan Daar Ibnul Jauzy, Riyadh.
6. Jami’ Bayan Al-‘Ilmi wa Fadhlihi Jilid I, Abu ‘Umar Yusuf bin ‘Abdil Barr, cetakan Daar Ibnul Jauzi, Riyadh.
7. Juz Thuruqi Hadits Thalabul ‘Ilmi Faridhatun ‘Ala Kulli Muslim, Imam Jalaluddin Abul Fadhl ‘Abdirrahman bin Kamaluddin Abi Bakr bin Muhammad bin Sabiq As-Suyuthi, cetakan Darul ‘Ammar, Yordania.
8. Kitab Al-‘Ilmi, Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin, cetakan Daar Ats-Tsurayya, Riyadh.
9. Menuntut Ilmu Jalan Menuju Surga, Yazid bin Abdul Qadir Jawas, cetakan Pustaka At-Taqwa, Bogor.
10. Shahih Al-Bukhari, Imam Abu ‘Abdillah Muhammad bin Isma’il Al-Bukhari, cetakan Darus Salam, Riyadh.
11. Syarah Riyadhush Shalihin (Terjemah Bahjatun Nazhirin Syarah Riyadhish Shalihin) Jilid 2 dan Jilid 4, Syaikh Salim bin ‘Ied Al-Hilali, cetakan Pustaka Imam Asy-Syafi’i, Jakarta
12. Syarah Tsalatsatil Ushul, Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin, cetakan Daar Ats-Tsurayya, Riyadh.
13. Syarah Ushul min ‘Ilmil Ushul, Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin, cetakan Daar Ibnu Haitsam, Kairo.
14. Syarhus Sunnah Jilid 1, Imamul Hadits Al-Faqih Al-Husain bin Mas’ud Al-Baghawi, cetakan Al-Maktab Al-Islamiy, Beirut.
15. Tafsir Al-Qur’anil ‘Azhim Jilid 4, Imam Al-Hafizh Imaduddin Abul Fida’ Isma’il bin Katsir Al-Qurasyi Ad-Dimasyqi, cetakan Daar Thayyibah, Riyadh.
16. Ushul Fiqih (Terjemah Al-Ushul min ‘Ilmil Ushul), Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin, cetakan Media Hidayah, Yogyakarta

Fadhilah Sholat berjama'ah di Masjid


1. Pahala langkah kaki
Mungkin sudah banyak yang tahu tentang ini, seorang yang berjalan ke masjid, maka tiap langkah kakinya akan diberikan satu pahala, dihapuskan satu dosa, dan dinaikkan satu derajat oleh Allah SWT. kebayang gimana itu manfaatnya gan? kalo rumah kita jauh dari masjid, berarti kita punya kesempatan untuk memperbanyak ampunan dosa kita
(Ibnu Majah:277,Muslim:1068 dan 1065).

2. Pahala menunggu waktu shalat
Banyak diantara kita yang berangkat ke masjid pas adzan supaya bisa cepet selesai. Dan kita sering bosan waktu nunggu iqamah dikumandangkan, dan gak jarang dari kita yang pas nunggu qamat malah main HP, atau ngobrol sama orang sebelah, atau tidur tiduran dengan malesnya. Tapi yang luar biasa, kita sebenarnya dapet pahala yang besar pas kita lagi nunggu waktu shalat! Jadi sebaiknya gunakan waktu menunggu shalat untuk berdzikir.
Orang yang menunggu sholat di masjid diberi pahala seperti sedang sholat (Bukhari:611)

3. Di do'akan Malaikat
Seorang yang menunggu shalat, tepatnya dari masuk mesjid sampe waktu shalat, maka dia bakal didoakan malaikat dengan doa : "Ya Allah Ampunila dia, Ya Allah ampunilah dia", tanpa henti sampai waktu shalat. Di antara kita mungkin pernah ada yang minta doa sama orang yang menurut kita lebih beriman dari kita, lebih bertakwa, dan lebih tunduk pada Allah. Mungkin di antara kita ada yang minta doa sama orang yang lebih tinggi derajat keimanannya dibanding kita supaya doa kita lebih makbul. Nah, ini yang doain malah malaikat! Makhluk Allah yang tak mungkin ingkar sama Allah. Subhanallah!

4. Mendapat naungan saat kiamat
Kita semua tahu tentang dasyatnya hari kiamat kelak, kita semua tahu bahwa di hari kiamat nanti bakalan panas banget, matahari itu hanya beberapa jengkal di atas kita. Tapi ada tujuh golongan yang dinaungi (ada yang bilang awan, ada yang bilang arsy Allah) kelak. Dan salah satunya adalah orang yang hatinya terpaut dengan masjid. Seorang pemuda yang hatinya terikat dengan masjid, orang orang itulah yang akan mendapat perlindungan dari Allah saat kiamat kelak. (Al-Bukhor:620)

5. Doa malaikat ketika di shaf terdepan
Selain di doakan malaikat ketika menunggu waktu shalat, orang yang ada di shaf terdepan juga didoakan oleh malaikat. (“Sesungguhnya Allah dan para Malaikat memberikan sholawat kepada orang-orang yang berada di shaf pertama.” HR. Ibnu Hibban no.2157). Menanggapi sabda Beliau, para sahabat bertanya, “Apakah juga kepada orang-orang yang berada di shaf kedua wahai Rasulullah? ” Kemudian Rasulullah berkata, “Juga kepada orang-orang yang berada dishaf kedua.” (HR. Ahmad dan Ath Thabrani, dihasankan oleh Syaikh Al Albani))

6. Subuh dan 119 pahala
Seseorang yang melaksanakan shalat subuh berjamaah, maka orang itu akan mendapatkan pahala 119 kali dibanding shalat sendiri. (Muslim:1049).

7. Isya dan 59 pahala
Seseorang yang melaksanakan shalat isya berjamaah, maka dia bakal dapat pahala 59 kali lipat. (Muslim:1038)

8. Dzuhur, Ashar, Magrib dan 27 pahala
Kalau shalat dzuhur jamaah, ashar jamaah, dan magrib jamaah, masing masing dilipatgandakan 27 kali kalau kita laksanakan secara jamaah (Muslim:1038)

9. Pahala ketika sakit
Pas kita lagi sakit dan tidak bisa ke masjid (setiap hari udah ke masjid). Pada saat kita tidak ke masjid dan shalat di rumah, kita akan dapat pahala yang sama seperti waktu shalat di masjid. (Abu Daud:2687)

10. Terhindar dari sifat munafiq
Orang munafiq itu susah banget untuk shalat subuh dan isya, apalagi berjamaah, nah orang yang mampu ngelaksanain shalat shalat itu, niscaya akan terhindar dari sifat munafiq. Tidak ada sholat yang lebih berat bagi orang-orang munafiq dari pada sholat subuh dan isya. Seandainya mereka tahu nilai yang terkandung di dalam kedua sholat itu, pastilah mereka mendatangi (masjid tempat) kedua sholat itu meskipun dengan merangkak.
(Al-Bukhori:617)

Barangsiapa besok ingin berjumpa Allah dalam keadaan (diakui) sebagai muslim, maka hendaklah menjaga sholat-sholat itu yang orang diseru (adzan) untuknya. Sesungguhnya Allah telah mensyariatkan untuk Nabimu Saw jalan-jalan petunjuk-Nya dan sesungguhnya pelaksaan sholat-sholat itu termasuk jalan-jalan petunjuk-Nya, seandainya kamu pada sholat dirumah sebagaimana orang yang absen (dari sholat jama’ah di masjid) itu sholat di rumahnya berarti kamu telah meninggalkan sunnah Nabimu, dan jika kamu meninggalkan sunnah Nabimu tentu kamu jadi sesat…. Dan sesungguhnya kamu telah menyaksikkan kami (para sahabat) yang mana tidak ada orang yang absen (dari sholat berjama’ah) kecuali orang munafik yang kemunafikannya sudah dikenal. Dan sesungguhnya dulu ada orang yang kondisi jasmaninya sudah lemah lalu dipapah dan didirikan di dalam shaf (agar ikut berjama’ah) (Muslim:1046)

Lebih dekat dengan Al-Qur’an


Sedih.. kenapa saat ini kebanyakan orangtua lebih mementingkan privat matematika, kimia, fisika, biologi, dll.. daripada privat atau belajar Al-Qur’an..

Sedih rasanya.. kenapa saat ini kebanyakan orang menghargai al-Qur’an ditaruh di lemari yang paling atas, dan hanya dipakai saat ada acara-acara besar seperti hajatan pernikahan..

Duhai Alloh.. ampuni jikalau kami lebih mementingkan belajar umum lalu lupa untuk mempelajari al-Qur’an.. ampuni jikalau waktu kami banyak habis di depan laptop daripada mempelajari al-Qur’an.. astaghfirulloh..

Dalam sebuah taujih ustadz fadlyl menyampaikan, “Akhi jadikan al-Qur’an menjadi sahabat sejatimu.” Ya, menjadi sahabat al-Qur’an. Di kala kita gundah gulana karena banyak masalah. Bacalah Al-Qur’an.. mudah2an menjadi obat untuk hati yang gundah..

Allohumma bariklana bil Qur’an.. ya Alloh berkahilah hidup kami dengan Al-Qur’an..

Wallohu’alam bisshowab.

Mengapa Kami Mencintai Halaqah?


Bismillah … Halaqah seringkali di sebut Liqa’ ataupun kelompok terkecil dalam berjamaah. Di dalam kelompok masyarakat kelompok terkecil ialah keluarga, maka di dalam berjamaah, halaqah inilah keluarganya.
Mengapa berjamaah?
Ada kalanya keputusan hidup kita jamaah yang menentukan. Hidup tanpa dakwah tak ada arti karena kita hanya menyolehkan diri pribadi (diri sendiri). Boleh dikatakan, hidup yang egois hanya mementingkan kepentingan sendiri. Seperti yang kita ketahui selama ini, hidayah itu tidak akan datang sendiri, ataupun langsung datang “plok” dari langit dan tiba-tiba kita berubah menjadi lebih baik. Tetapi harus melalui perantara orang lain. Berbanggalah menjadi orang-orang pengantar hidayah.
1. Karena berjamaah merupakan kewajiban seorang muslim
Kita bisa buka Qs An-Nisa : 1, Hai sekalian manusia, bertaqwalah kepada Tuhan-mu yang telah menciptakan kamu dari seorang diri, dan dari padanya Allah menciptakan istrinya; dan dari pada keduanya Allah memperkembang biakkan laki-laki dan perempuan yang banyak. Dan bertaqwalah kepada Allah yang dengan (mempergunakan) nama-Nya kamu saling meminta satu sama lain, dan (peliharalah) hubungan silaturahim. Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan mengawasi kamu.
Ali Imran: 103. Dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah, dan janganlah kamu bercerai berai, dan ingatlah akan nikmat Allah kepadamu ketika kamu dahulu (masa Jahiliyah) bermusuh-musuhan, maka Allah mempersatukan hatimu, lalu menjadilah kamu karena nikmat Allah, orang-orang yang bersaudara; dan kamu telah berada di tepi jurang neraka, lalu Allah menyelamatkan kamu dari padanya. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepadamu, agar kamu mendapat petunjuk.
Qs Al-Maidah ayat 2, “………….., Dan janganlah sekali-kali kebencian(mu) kepada sesuatu kaum karena mereka menghalang-halangi kamu dari Masjidil haram, mendorongmu berbuat aniaya (kepada mereka). Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. …..”
“Tidak halal darah seorang muslim kecuali dengan tiga hal:……, ……., dan orang yang keluar dari Agama dan meninggalkan jamaah” (di keluarkan oleh Bukhari, 6/9; dan Muslim, 3/1303).
Jamaah yang di maksud ialah jamaah Islamiyah yang mempersatukan seluruh kaum Muslimin, sehingga tidak ada kaum yang berpecah dan bergolong-golongan. Inti dari ayat dan hadits di atas ialah agar kita berjamaah dan bersatu. Allah dan Rasul-Nya tidak menyukai jika kita hidup menyendiri.
2. Karena berjamaah merupakan sarana terbaik untuk menjauhkan dari syethan.
Sesungguhnya Allah tidak mengumpulkan umat Muhammad dalam kesesatan, karena bagi siapa yang keluar dari Jamaah maka neraka tantangannya. Jika kita sendirian, tentu pikiran-pikiran kotor sering terlintas (mau coba? Coba saja kalau kita hidup 1 bulan dan tidak berinteraksi dengan orang lain. Bagaimana rasanya?). Tetapi, jika berjamaah kita menjadi kuat. Tentunya dari berjamaah pula begitu banyak kita dapatkan setruman-setruman dan target-target besar yang mampu di kerjakan secara bersama-sama.
3. Karena jamaah itu jalan cepat menuju surga.
Jika kita hidup menyendiri, amalan-amalan yang kita lakukan juga mendapat pahala sendiri. Masih ingat tentang amalan shalat berjamaah? Berapa kali lipat besar pahalanya, di bandingkan dengan amalan shalat sendirian? Nah, sama juga dengan amalan jama’i. Dalam berjamaah, kita saling mengenal antar sesama Muslim/ah, dan tentunya suasana kehidupan kita berbeda-beda. Di jamaah-lah kita berkesempatan berbuat baik kepada saudara dan sesama Muslim lainnya. Kita juga saling mengingatkan, dsb.
Mengapa kami mencintai halaqah?
Tentu pertanyaan ini muncul kepada kader-kader yang masih awam dan tergolong baru dalam kancah dakwah. Karena, dalam dunia dakwah membutuhkan sarana tarbiyah diri yang salah satu cabangnya merupakan halaqah. Kami butuh hidayah dan semangat ruhiyah dari kawan-kawan se-lingkaran ataupun dari motivasi murabbi/ah. Seringkali kami mendengar tentang “mensholehkan orang lain”. Hal itu dapat terwujud jika kami hidup berjamaah (Oia, jamaah di sini bukan jamaah dari sekelompok kaum muslimin).  Kader dakwah mempunyai ketulusan hati tanpa kepura-puraan.
Kami masih ingat keadaan di awal sebelum halaqah. Di mana di masa itu, kami hanya memikirkan nasib masa depan kami. Jarang- dan bahkan tidak pernah terlintas sedikit pun kami memikirkan nasib saudara-saudara kami. Dalam tulisan di buku impian kami, hanya tergores impian-impian memajukan nasib pribadi dan keluarga terdekat dan orientasinya lebih besar tentang kesuksesan dunia (jadi pengusaha sukses, selama kuliah dapat IPK tinggi dan tamat cum laude, orang terkaya di wilayah/kampung, s2 dan s3 di luar negri… sekitar-sekitar itu). Apakah engkau juga merasakan apa yang kami rasakan?
Namun, ketika dalam dekapan halaqah? Bagaimana kondisi hati dan pikiran kami? Apakah kami tetap memikirkan pribadi saja? Tentu, jawabannya tidak! Kami telah berubah. Kami memikirkan keadaan umat dan saudara-saudara kami. Orientasi kami tidak hanya lingkungan pribadi dan keluarga, namun juga lingkungan masyarakat, wilayah, negara bahkan memikirkan umat Islam se-dunia. Subhanallah. Cita-cita tertinggi kami tidak hanya berkisar urusan duniawi, sukses kefanaan saja, namun adalah jihad fisabilillah dan sukses di Akhirat. Aamiin.
Sebelum kami bergabung di halaqah, terlintas di pikiran bahwa menghafal 30 juz Al-Quran yang terdiri dari 6.000-an ayat SANGAT SULIT!!! Sehingga tak ada semangat untuk berusaha menghafalnya. Bagaimana denganmu? Apakah sama dengan yang kami rasakan? Nah, bagaimana keadaan kami setelah halaqah? Apakah masih menemukan kesulitan? Jawabannya seringkali kami dapatkan begini: menghafalnya tidak sulit, namun mempertahankan hafalan Al-Quran butuh keistiqamahan… yup begitulah! Di halaqah kami di ajarkan tentang arti keistiqamahan. Jikala iman sedang menurun, maka terlihat kawan-kawan selingkaran yang sedang semangat imannya, maka kami ikutan naik dan bersemangat.
Pertanyaan kami: apakah anti/antunna merasakan itu semua?
Mengapa kami mencintai halaqah?
Kami coba bandingkan dengan kehidupan silam yang masih jahiliyah. Di halaqah, kami selalu mendapatkan informasi update baik itu tentang ilmu maupun berita dan keadaan umat Muslim dunia. Sehingga, kami di dalam lingkaran menjadi termotivasi berlomba-lomba berburu informasi. Sangat berbeda, jika kami hidup sendiri – sendiri… mungkin kami merasa acuh dan tidak peduli dengan saudara yang lain. Pernahkah terpikirkan? Bahwa, ilmu itu ibarat air. Jika air dibiarkan tergenang dan mengendap akan bersarang nyamuk. Begitu pula ilmu, jika kita biarkan mengendap di otak tak ada manfaatnya. Namun, jika kami mentransferkan ilmu kepada saudara kami, tentu akan lebih banyak manfaatnya. Maka, di halaqahlah kami mendapatkan itu semua.
Tentunya lebih banyak alasan-alasan lain, mengapa kami mencintai halaqah. Untuk itu, bagi Antum/antunna yang merasakan kejenuhan ketika berhalaqah, maka tanyalah ke pribadi. Apakah niat mengikuti halaqah? Apakah niat itu ikhlas karena Allah? Mandirilah Antum, maka Antum akan menjadi orang yang merdeka dan maju. Pantang cengeng bagi kader dakwah. Karena, dakwah tidak membutuhkan kader-kader manja. Hanya ada 1 keputusan: jika tidak mampu di bina, maka di binasakan saja (hehehe… upsss, afwan). Ingat! Dalam dakwah tidak ada “senioritas”. Ketika kita niatkan dakwah ini karena Allah, maka tidak ada kata mundur walaupun satu langkah. Kabbiruuuu!! Allaahuakbar


Sumber: http://www.dakwatuna.com/2012/09/12/22821/mengapa-kami-mencintai-halaqah/#ixzz2lymi9dPh 
Follow us: @dakwatuna on Twitter | dakwatunacom on Facebook

Keutamaan Qiyamullail


Dari Jabir r.a., ia barkata, “Aku mendengar Rasulullah saw. bersabda, “Sesungguhnya pada malam hari itu benar-benar ada saat yang seorang muslim dapat menepatinya untuk memohon kepada Allah suatu kebaikan dunia dan akhirat, pasti Allah akan memberikannya (mengabulkannya); dan itu setiap malam.” (HR. Muslim dan Ahmad)
Qiyamullail adalah sarana berkomunikasi seorang hamba dengan Rabbnya. Sang hamba merasa lezat di kala munajat dengan Penciptanya. Ia berdoa, beristighfar, bertasbih, dan memuji Sang Pencipta. Dan Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang, sesuai dengan janjinya, akan mencintai hamba yang mendekat kepadanya. Kalau Allah swt. mencintai seorang hamba, maka Ia akan mempermudah semua aspek kehidupan hambaNya. Dan memberi berkah atas semua aktivitas sang hamba, baik aktivitas di bidang dakwah, pendidikan, ekonomi, sosial, budaya, maupun politik. Sang hamba akan dekat dengan Rabbnya, diampuni dosanya, dihormati oleh sesama, dan menjadi penghuni surga yang disediakan untuknya.
Seorang muslim yang kontinu mengerjakan qiyamullail, pasti dicintai dan dekat dengan Allah swt. Karena itu, Rasulullah saw. menganjurkan kepada kita, “Lazimkan dirimu untuk shalat malam karena hal itu tradisi orang-orang shalih sebelummu, mendekatkan diri kepada Allah, menghapus dosa, menolak penyakit, dan pencegah dari dosa.” (HR. Ahmad)
Jika Anda ingin mendapat kemuliaan di sisi Allah dan di mata manusia, amalkanlah qiyamullail secara kontinu. Dari Sahal bin Sa’ad r.a., ia berkata, “Malaikat Jibril a.s. datang kepada Nabi saw. lalu berkata, ‘Wahai Muhamad, hiduplah sebebas-bebasnya, akhirnya pun kamu akan mati. Berbuatlah semaumu, pasti akan dapat balasan. Cintailah orang yang engkau mau, pasti kamu akan berpisah. Kemuliaan orang mukmin dapat diraih dengan melakukan shalat malam, dan harga dirinya dapat ditemukan dengan tidak minta tolong orang lain.’”
Orang yang shalat kala orang lain lelap tertidur, diganjar dengan masuk surga. Kabar ini sampai kepada kita dari hadits yang diriwayatkan oleh Imam Tirmidzi dari Abdullah bin Salam dari Nabi saw., beliau bersabda, “Wahai manusia, sebarkanlah salam, berikanlah makanan, dan shalat malamlah pada waktu orang-orang tidur, kalian akan masuk surga dengan selamat.”
Seorang dai yang ingin berhasil dakwahnya, harus mennabur kasih sayang kepada seluruh lapisan masyarakat. Hal itu dapat digapai dengan wajah yang berseri-seri, mengucapkan salam, mengulurkan bantuan, silaturahim, dan pada malam hari memohon kepada Allah diawali dengan qiyamulail. Tapi sayang, yang melaksanakan qiyamulail secara kontinu sangat sedikit jumlahnya. Semoga kita termasuk kelompok yang sedikit ini dan berhak masuk surga tanpa dihisab. Rasululah saw. bersabda, “Seluruh manusia dikumpulkan di tanah lapang pada hari kiamat. Tiba-tiba ada panggilan dikumandangkan dimana orang yang meninggalkan tempat tidurnya, maka berdirilah mereka jumlahnya sangat sedikit, lalu masuk surga tanpa hisab. Baru kemudiaan seluruh manusia diperintah untuk diperiksa.”
Kiat Mudah Qiyamullail
Qiyamullail memerlukan kesungguhan dan kebulatan tekad. Jika ada tekad, akan sangat mudah merealisasikannya dengan izin Allah. Berikut ini kiat-kiat pendorong meninggalkan tempat tidur untuk bermunajat kepada Yang Maha Pengasih.
1. Programlah aktivitas Anda di hari yang malamnya Anda rencanakan untuk qiyamulail agar memungkinkan Anda tidak kelelahan. Sehingga tidak membuat Anda tidur terlalu lelap.
2. Pahamilah bahwa Anda punya kebutuhan jasmani, aqli, dan ruhani, serta Anda wajib memenuhinya dengan seimbang.
3. Hindari maksiat. Sebab menurut pengalaman Sufyan Ats-Tsauri, “Aku sulit sekali melakukan qiyamullail selama 5 bulan disebabkan satu dosa yang aku lakukan.”
4. Ketahuilah fadhilah (keutamaan) dan keistimewaan qiyamulail. Dengan begitu Anda termotivasi untuk melaksanakannya.
5. Tumbuhkan perasaan sangat ingin bermunajat dengan Allah yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang.
6. Makan malam jangan kekenyangan, berdoa untuk bisa bangun malam, dan jangan lupa pasang alarm sebelum tidur.
7. Baik juga jika Anda janjian dengan beberapa teman untuk saling membangunkan dengan miscall melalui telepon atau handphone yang Anda miliki.
8. Buat kesepakatan dengan istri dan anak-anak bahwa keluarga punya program qiyamullail bersama sekali atau dua malam dalam sepekan.
9. Berdoalah kepada Allah swt. untuk dipermudah dalam beribadah kepadaNya


Sumber: http://www.dakwatuna.com/2007/11/16/309/keutamaan-qiyamullail/#ixzz2lym0QYbL 
Follow us: @dakwatuna on Twitter | dakwatunacom on Facebook