Sabtu, 13 Juni 2009

3 Pintu Kebahagiaan


Suatu hari ada seorang sahabat ('Uqbah bin 'Aamir) datang kepada rasulullah saw dan bertanya :
"Wahai rasulullah apa yang bisa membuat diriku tenang, tentram, enjoy, serta selamat baik dunia maupun akhirat ?"

Rasulullah saw menjawab : "(Amsik 'alaika lisanak) Jagalah lisanmu, (Walyasa'ka baituk) luaskanlah rumahmu, (Wabki 'ala khathi'atik) dan tangisilah perbuatan salahmu." (Diriwayatkan Turmudzy)
Dari hadits diatas dapat diambil kesimpulan bahwa jalan, manhaj, konsep, cara agar seseorang itu selamat sehingga merasa tenang, tentram, dan tuma'ninah dalam menghadapi segala permasalahan ada tiga perkara :
1. Menjaga lisan.
Lisan itu bagaikan kuda, keduanya bisa mencelakakan dan bisa menyelamatkan pemiliknya. Hingga kemudian apabila seorang faaris (penunggang kuda) sembarang naik tanpa mengetahui kaifiyah (cara) mengendalikan tunggangannya maka ia akan mudah terlempar jatuh dari kudanya tadi. Begitu pula lisan, jika seseorang sembarangan dalam menggunakan lisannya tanpa ada kendali niscaya ia akan mengalami banyak kekeliruan dan kesalahan sehingga bisa menjerumuskannya kedalam jahannam.
Makanya, amatlah benar Rasulullah saw ketika berjanji dengan bersabda :
"Barangsiapa yang mampu menjaga apa yang ada diantara kedua rahangnya (lisannya) dan apa yang ada diantara kedua kakinya (kemaluannya) dengan baik, aku berani menjamin bahwa dia pasti akan masuk surga," (Diriwayatkan Bukhari dan Muslim dari Sahl bin Sa'ad)
Bukhari dan Muslim meriwayatkan dari Abu Musa , ia berkata : "Aku pernah bertanya : 'Wahai rasulullah, siapakah muslim yang paling utama ?' beliau menjawab 'Muslim yang muslim lainnya terbebas dari gangguan lisan dan tangannya."
Bahkan rasulullah menjelaskan bahwa keistiqamahan iman seseorang tergantung pada lisannya, sabda beliau :
"Keimanan seseorang hamba tidak dianggap istiqamah sebelum hatinya istiqamah. Dan hati itu tidak dianggapa istiqamah sebelum lidahnya istiqamah." (Diriwayatkan Ahmad dari Anas bin Malik)
Kemudian rasulullah juga mengindikasikan bahwa seseorang itu akan selalu dan senantiasa menjaga lisannya jika ia mengaku bahwa dirinya beriman kepada Allah dan hari akhir. Beliau bersabda :
"Barangsiapa beriman kepada Allah dan hari akhir hendaklah berkata yang baik atau diam". (Diriwayatkan Bukhari dan Muslim dari Abu Hurairah).
Imam Nawawi berkata : "Maksud Hadits ini jelas, yaitu agar seseorang tidak mengeluarkan kata-kata, kecuali yang baik yakni perkataan yang ada manfaatnya, tahu kapan perlu berbicara dan tahu kapan tidak perlu berbicara. Menurut sunnah, seseorang hendaknya menahan diri dari banyak bicara, sebab perkataan yang asalnya mubah sekalipun terkadang bias menjurus kepada haram atau makruh, dan yang demikian banyak dijumpai dalam kehidupan sehari-hari, sementara keselamatan lisan merupakan sesuatu yang mahal harganya."
Makanya tidak aneh jika para ulama salaf saleh sangat berhati-hati dengan lisan yang mereka miliki. Sebagaimana penuturan Salah seorang sahabat yang bernama Ibnu Mas'ud r.a, beliau mengatakan :
"Tidak ada yang lebih berhak untuk dipenjarakan secara berkepanjangan selain dari lisanku". Karenanya alangkah baiknya seseorang lebih mengutamakan dan memprioritaskan indera lain (pendengaran) dari pada yang satu ini (lisan). Seorang sahabat (Abu Darda r.a) berkata : "Aktifkanlah dua telingamu daripada mulutmu. Karena engkau diberi dua telinga dan satu mulut, agar engkau lebih banyak mendengar daripada berbicara."
Shamit bin 'Ajalan mengatakan :
"Wahai anak adam, sesungguhnya selama engkau diam engkau akan selamat, maka apabila engkau berbicara berhati-hatilah, karena perkataan itu akan menjadi penolong bagimu atau menjadi boomerang bagimu."(Jami' Ulum wal Hikam, hal 135). Abu Bakar bin Ayasy berkata :
"Saya melihat manfaat diam adalah keselamatan" maka inilah diantara salah satu kunci keselamatan bagi seorang hamba.
2. Melapangkan tempat tinggal.
Maksudnya adalah melazimi (mendiami) rumah/tempat tinggalnya dengan menyibukkan diri dalam berbagai ketaatan kepada Allah yakni dengan memperbaiki rumah tangga yang ada, seperti menjaga diri dan keluarga agar senantiasa taat kepada apa yang telah Allah swt syariatkan. Syaikh Shalih al Munajjid menyebutkan, Rumah Adalah Nikmat. Allah swt berfirman :
"Dan sesungguhnya Allah menjadikan bagimu rumah-rumahmu sebagai tempat tinggal." (An-Nahl : 80) Ibnu Katsir rahimahullah berkata : "Allah swt menyebutkan kesempurnaan nikmatNya atas hambaNya, dengan apa yang Dia jadikan bagi mereka rumah-rumah yang merupakan tempat tinggal mereka. Mereka kembali kepadanya, berlindung dan memanfaatkannya dengan berbagai macam manfaat"1.
Adapun rasa syukur atas nikmat ini bias kita wujudkan dengan memperbaiki rumah tangga, diantaranya dengan mengamalkan ayat Allah swt:
"Hai orang-orang yang beriman jagalah dirimu dan keluargamu dari siksa api neraka" (Qs. at-Tahrim : 6).
Ali r.a. berkata : didik dan ajarilah mereka. Ibnu Abbas r.a. mengatakan :
“Beramallah dengan memperbanyak ketaatan kepada Allah, dan jauhi maksiat, serta perintahkan keluargamu untuk selalu mengingat Allah, niscaya Allah menyelamatkanmu dari api neraka”. Dan Ibnu Katsir berkata bahwa makna ayat ini adalah hadits rasulullah :
Para fuqaha’ menambahkan : “Hal ini juga berlaku pada shaum dan ibadah lainnya, sebagai bentuk latihan, sehingga ketika mencapai baligh mereka sudah terbiasa dengan ibadah, taat kepada Allah dan menjauhi kemaksiatan dan meninggalkan kemungkaran.
Kemudian mengamalkan sabda Rasulullah saw berikut :
"Perumpamaan rumah yang di dalamnya ada dzikrullah, dan rumah yang tidak ada dzikrullah di dalamnya adalah (laksana) perumpamaan antara yang hidup dengan yang mati". (Hadits riwayat Muslim dan Abu Musa)
Rasulullah menegaskan dalam hadits lain : "Janganlah kalian jadikan rumah-rumah kalian sebagai kuburan! Sesungguhnya setan lari dari rumah yang dibacakan di dalamnya surat Al-Baqarah".(HR. Muslim). Karenanya rumah harus dijadikan sebagai tempat untuk melakukan berbagai macam dzikir, baik itu dzikir dalam hati maupun dengan lisan, shalat, atau membaca shalawat dan Al-Qur'an, atau mempelajari ilmu-ilmu agama, atau membaca buku-buku lain yang bermanfaat.
3. Menangisi kesalahan yang telah diperbuat.
Karena setiap bani adam pasti melakukan kesalahan, maka akan amat sangat pantas jika diri mereka menangisinya. Kalaulah misalkan seseorang tidak bisa menangisi kesalahannya, minimal bersegera beristigfar dan kembali mengingat Allah serta menyesali dan menghitung-hitung kesalahan yang telah diperbuat. Umar bin Khathab r.a berkata :
“Hisablah diri kalian sebelum kalian dihisab, dan timbanglah diri kalian sebelum kalian ditimbang, karena sesungguhnya hisab yang kalian lakukan hari ini akan meringankan hisab kalian pada hari esok (akhirat) ”. Bahkan Rasulullah saw bersabda :
“Wahai manusia! Bertaubatlah kepada Allah, sesungguhnya aku bertaubat kepada-Nya seratus kali dalam sehari.”( HR. Muslim 4/2076). Dan sabdanya :
“Demi Allah! Sesungguhnya aku minta ampun kepada Allah dan bertaubat kepadaNya dalam sehari lebih dari tujuh puluh kali.”(HR. Bukhari). Ibnu Qoyyim rahimahullah berkata “al-Fawaid” :
“Bertaubat dari dosa bagaikan meminum obat untuk menangkal penyakit dan berapa banyak obat yang karenanya orang menjadi sehat”. Ibunda Aisyah r.a mengatakan :
“Beruntunglah orang-orang yang mendapati dalam catatan amal perbuatannya memuat banyak istigfar” (Tazkiyatu an-Nafs, hal 51). Wallahu A’lam bish Shawab
Referensi :
1. Al-Qur’an al-Karim dan terjemahannya.
2. ‘arba’uuna nashihah liislahil buyut’, Shalih al Munajjid.
3. Kamus al-Mukhtar, Tim Kajian al-Kitabah.
4. Minhajul Qashidin, Ibnu Qudamah.
5. Riyadhus Shalihin, Imam an-Nawawi.
6. Tuhfatul ahwadzi (Syarh Turmudzy), Muhammad Abdurrahman Bin Abdurrahhim.
7. al-Fawaid, Ibnu Qoyyim al-Jauziyyah
8. Tafsir Ibnu Katsier.
Writed By : Ibnu Syams

0 komentar:

Posting Komentar